Jika engkau ingin mengenal dunia, maka membacalah. Namun, jika engkau ingin dikenal oleh dunia, maka menulislah.
Salah satu kata bijak dari Prmoedya Ananta Toer yang paling disukainya. Awalnya Rere hanya tertarik dengan membaca. Mengenal seluk beluk dunia lewat buku yang sering ia pinjam di perpustakaan daerah yang terletak tak jauh dari rumahnya. Namun, semakin ke sini ia merasa tak cukup hanya dengan membaca. Banyak hal yang juga sangat ingin diutarakannya. Mengenai vaksin Covid yang baru saja diterimanya, tentang pendidikan di masa pandemi, mungkin semacam itu.
Terlebih
waktu itu, tanpa sengaja ia melihat sebuah kabar gembira tentang beberapa
media yang memberi honor tulisan-tulisan yang berhasil dimuat, membuatnya
semakin bersemangat untuk menekuni dunia tulis. Toh, selain itu pengetahuannya juga pasti akan bertambah dengan menulis. Mengingat bagaimana kondisi saat ini,
setidaknya Rere bisa sedikit membantu meringankan beban ekonomi keluarganya.
Rere mengalihkan atensinya kala mendengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Segera
diraihnya ponsel itu kemudia menggeser layarnya dan mendapati sebuah
pesan yang masuk dari salah satu grup kuliahnya. Ah, hampir saja ia lupa.
Pembelajaran yang dilakukan secara online tentu bukan alasan untuk tidak
membayar UKT.
Rere mengurut pangkal hidungnya, menghela napas berat. Saat ini kondisi ekonomi
keluarganya sedang kurang baik. Ayahnya merupakan salah satu dari sekian banyak
karyawan yang terkena PHK. Sedangkan ibunya hanya seorang tukang
jahit yang orderannya tidak menentu. Dulu sebelum pandemi covid melanda,
kehidupan keluarganya termasuk baik walaupun masih jauh dari kata cukup. Namun
setidaknya kebutuhan sehari-hari mereka dapat terpenuhi.
Ayahnya
bekerja sebagai salah satu karyawan ojek online. Meski begitu, tak menyurutkan
tekadnya untuk tetap melanjutkan kuliah. Tak jarang Rere mendengar bahkan
melihat langsung bagaimana remaja seusianya yang terpaksa berhenti sekolah
dikarenakan kemampuan finansial yang tidak sepadan dengan biaya pendidikan yang
terbilang cukup tinggi.
Miris
sekali sebenarnya. Ada banyak anak yang terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam
karena tak dapat menyecap bangku sekolah melihat betapa mahal pendidikan itu.
Besar keinginannya untuk mengubah kondisi ekonomi keluarganya. Sangat sedih
melihat sang ayah yang terkadang pulang malam dengan wajah lesu lantaran jumlah
orderan yang tidak seberapa.
2020
lalu, perusahaan ojek online tempat ayahnya bekerja memutuskan untuk merumahkan kurang lebih sebanyak 430
karyawan, dan ayahnya termasuk di dalamnya. Sebenarnya Rere sangat kecewa mengapa
sang ayah yang harus kena imbasnya, yang mengakibatkan ayahnya harus berhenti
dari pekerjaan itu. Pesangon yang didapat ayahnya pun hanya mampu menutupi
kebutuhan untuk beberapa hari. Di sisi lain ia menyadari bahwa semua orang
pasti membutuhkan yang namanya pekerjaan. Dan mungkin saja, ada orang yang
lebih membutuhkan darinya.
Kembali
lagi ia menatap nominal angka UKT yang tertera di layar ponselnya. Jauh dari
lubuk hati, Rere tak ingin membebani orang tuanya dengan UKT ini. Namun
apalah daya, ia hanya seorang mahasiswa baru yang tak tahu apa-apa. Dan mau
tidak mau, ia harus tetap melunasi tagihan UKT jika tidak ingin sekolahnya
terputus. Hidupnya sangat bergantung kepada kedua orang tuanya.
Terkadang
di sela-sela kesibukannya menjalani kuliah daring, Rere menyempatkan diri
membantu sang ibu menjahit kain sesuai pesanan para pelanggan, kadang pula ia
menyisihkan waktunya membuat beberapa jenis kue di tengah tumpukan tugas-tugas
yang harus dikerjakan untuk dijual guna menambah sedikit pemasukan ekonomi
keluarganya.
Beberapa
kali ia melihat kabar yang muncul di beranda media sosialnya mengenai bantuan
pemerintah terhadap para karyawan yang terkena PHK, berharap ayahnya akan
menerima bantuan itu. Namun hingga saat ini, belum ada tanda-tanda bantuan itu
akan menghampirinya.
“Para
diaspora akan membantu pekerja korban PHK atau yang dirumahkan karena Covid-19
ini melalui program one family to one
family. Donasinya sebesar US$ 50 per bulan.”
Rere mengeja kata per kata, sebuah berita yang dibacanya di salah satu halaman media
kabar. Seketika pikirannya langsung tertuju pada sang ayah. Sudah beberapa
bulan ayahnnya tak dapat kerja apa-apa dan selama itu pula mereka bergantung pada
upah dari pekerjaan sang ibu.
“US$ 50 kalau
dirupiahkan berapa ya?”
Rere meraih sebuah
kalkulator yang terletak di atas meja belajarnya, lantas menghitung nominal
angka yang ingin diketahuinya.
“Tujuh ratus ribu.
Hm, lumayan untuk menambah keuangan keluarga,” gumamnya sambil mengetuk-ngetuk
jarinya di atas meja.
Tapi
kalau dipikir kembali, apakah ayahnya dapat memperoleh itu? Terlebih lagi
mengingat ada banyak orang di luar sana selain ayahnya yang terkena PHK. Kemungkinan
yang cukup kecil hal itu dapat terealisasi. Mengingat semua itu membuat Rere berpikir keras, apa
yang mesti dilakukannya? Tidak mungkin ia hanya berdiam diri tak melakukan apa-apa sedangkan kedua orang tuanya sibuk memikirkan bagaimana nasib keluarga
mereka ke depannya.
“Ah!, aku ingat yang
waktu itu!” serunya.
Rere kembali membuka layar ponselnya dan mengetikkan sesuatu di kolom pencarian
instagram. Beberapa hari yang lalu ia tak sengaja membaca kabar mengenai
pemuatan tulisan disertai dengan honor yang sempat lewat di beranda instagramnya.
Sebenarnya ini bukan kali pertama ia menulis. Sebelumnya Rere sering mengirim
tulisan ke beberapa media, namun selalu ditolak.
Tapi ia tak menyerah, nasihat sang ayah yang selalu membuatnya semangat untuk
bangkit kembali. Ayahnya pernah berkata, “Kehidupan kita, itu seperti jarum jam
yang berputar. Ada saat dimana kita berada di titik terendah, yaitu angka enam.
Dan ada saat dimana kita berada di puncak tertinggi, yaitu angka dua belas.
Semuanya melalui proses.”
Rere selalu menanamkan dalam dirinya bahwa apapun yang ingin diraih, tak ada jalan
yang akan selalu mulus. Semuanya akan terwujud apabila benar-benar memperjuangkannya.
“Rere,
tolong antarkan baju ini ke rumah bu Desi,”
Rere menghentikan kegiatannya kala mendengar panggilan sang ibu. Tak menunggu
waktu lama, ia menghampiri ibunya di ruang tengah yang
terlihat sibuk dengan kain dan alat-alat jahit lainnya yang berserakan di
lantai. Rere mengambil sebuah plastik kecil yang diketahuinya berisi baju
pesanan bu Desi.
“Tolong
antarkan ke rumah bu Desi. Sekalian kalau pulang, minta hasil penjualan kue
yang kemarin. Ibu belum sempat mengambilnya,”
Rere mengangguk paham. Lalu melenggang pergi mengantarkan pesanan bu Desi. Saat
hendak meraih gagang pintu, suara ibunya kembali mengintrupsi.
“Rere
jangan lupa pakai masker. Ingat himbauan pemerintah. Patuhi protokol kesehatan.”
Hampir
saja ia melupakannya. Saat ini, masker dan handsanitizier
adalah temannya saat hendak bepergian kemana-mana. Sepanjang yang ia tahu, pemerintah
akan mengenakan denda kepada siapa saja yang tidak mematuhi protokol kesehatan
saat hendak bepergian, salah satunya dengan tetap menggunakan masker.
Jarak
antar rumahnya dan rumah bu Desi cukup jauh, Rere memutuskan menggunakan sepeda.
Di daerahnya sendiri larangan untuk berkumpul dan keluar rumah sebenarnya sudah
diberlakukan sejak lama. Namun, semenjak merebaknya isu mengenai adanya vaksin
covid, masyarakat mulai melakukan aktivitas normal seperti biasanya. Beberapa
pasar dan minimarket sudah kembali beroperasi.
Sepanjang perjalanan nampak beberapa toko yang masih tutup, dan sisanya mulai dibuka kembali oleh si pemilik. Orang-orang mulai berkeliaran, dapat ia lihat sedikit diantaranya yang tidak menggunakan masker. Kehidupan normal baru. Rere pernah membacanya di salah satu portal berita. Dibandingkan dengan dulu, waktu di mana covid-19 belum melanda, kehidupan saat ini terasa sedikit berbeda baginya.
Tahun
ini, katanya sekolah sudah dibuka kembali dan kegiatan belajar mengajar dapat
dilakukan dengan tatap muka secara langsung. Tapi faktanya masih ada beberapa
daerah yang masih belum memberikan izin kepada sekolah-sekolah dan universitas
untuk dibuka. Kebanyakan adalah daerah-daerah yang masih terdaftar dalam zona
merah penyebaran covid-19.
Selang
beberapa menit kemudian, ia berhenti dan menepikan sepedanya di depan sebuah
rumah yang terbilang cukup luas. Terdapat nomor 14A yang terpajang di samping
gerbang rumah itu.
“Tidak
salah lagi, ini pasti rumah bu Desi,”
Pernah
sekali waktu masih duduk di kelas tiga SMP, Rere menemani ibunya mengantarkan
pesanan kain ke rumah ini. Itu pun sudah berlalu beberapa tahun yang lalu. Wajar
saja jika ia sedikit lupa letak rumah bu Desi. Setelah menekan bel
beberapa kali, dari dalam rumah nampak seorang wanita paruh baya dengan ponsel
yang diapit di pundak dan telinganya sedang tangannya sibuk mengutak-atik sebuah
benda yang Rere tak tahu namanya.
“Anaknya
Irma, ya?” Irma adalah nama ibunya. Rere mengangguk singkat masih terus
memperhatikan gerak-gerik wanita paruh baya itu.
“Saya
mau mengantarkan pesanan baju milik bu Desi. Kebetulan ibu saya ada kesibukan lain
sehingga saya yang menggantikannya,” ucapnya.
Wanita
paruh baya yang masih sibuk menelepon itu tampak tidak terganggu dengan
kehadiran Rere. Tak mau berlama-lama di sini, ia segera memberikan plastik kecil
tersebut kepada wanita yang ada di hadapannya.
“Baiklah
terima kasih, cantik. Uangnya sudah saya bayar di muka,”
Setelah mengambil barang pesanannya dan mengucaap terima kasih, wanita itu melenggang pergi. Saat hendak melangkahkan kakinya meninggalkan rumah tersebut, tanpa sengaja Rere mendengar topik pembicaraan mereka. Tak jauh-jauh, lagi-lagi tentang permasalahan yang ditimbulkan oleh wabah covid ini.
Rere terdiam sejenak. Banyak hal yang saat ini memenuhi pikirannya. Mulai dari UKT
yang benar-benar terasa seperti hendak merenggut nyawanya, sampai dengan
bertanya-tanya apa yang akan terjadi bila usaha ibunya pun mulai sepi
pelanggan? Akankah ia berakhir di bawah kolong jembatan? Atau menjadi
anak-anak yang memenuhi lampu merah dengan segenggam uang recehan ditangannya?
Ah,
pikirannya sudah terlalu jauh. Bagaimana pun kedepannya, tak ada yang tahu.
Saat ini, hanya UKT yang terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Oleh: Arifah Mutawaffika
.....
source picture: (https://images.app.goo.gl/eloJfWyqezuZc6Gw7)
Komentar
Posting Komentar